IJTIHAD SEBAGAI SUMBER DAN METODOLOGI HUKUM ISLAM
IJTIHAD SEBAGAI SUMBER DAN METODOLOGI HUKUM ISLAM
A. Latar Belakang
Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk
mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama yaitu Al-Qur'an dan
Al-hadits dengan jalan istimbat. Adapun mujtahiditu ialah ahli fiqih yang
menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh
persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama. Oleh karena itu kita harus berterima
kasih kepada para mujtahid yang telah mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran
untuk menggali hukum tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam baik
yang sudah lama terjadi di zaman Rosullulloh maupun yang baru terjadi. Kita telah mengetahui bersama bahwa sumber hukum tertinggi dalam Islam adalah
Al-Qur’an dan Hadits. Di dalam keduanya terdapat hukum-hukum yang
relevan dalam kehidupan kita bermasyarakat, beragama dan menjalani kehidupan
kita sebagai khalifah di muka bumi ini. Tanpa disadari, keterikatan muslimin
untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan dengan kekhawatiran akan jatuh dalam
kekufuran, menjadikan setiap muslim berjanji untuk mengikuti Al-Qur’an dan Hadits atau Sunnah,Tapi ada hal yang
tidak dapat ditolak, yakni adanya perubahan persepsi di kalangan muslim
dalam memahami keduanya. Dari dasar sumber yang sama ternyata
muslimin memahami dengan berbeda. Awal perbedaan ini, nampak jelas ketika
Rasulullah SAW wafat. Al-Quran, dalam artian wahyu atau kalam
Ilahi dan penjelas dalam praktik kehidupan sehari-hari Nabi SAW itu terhenti.
Sebagian muslimin berpandangan bahwa periode dasar hukum telah terhenti,
sehingga mereka berpandangan hanya Al-Quran dan Sunnah Nabi saja sebagai sumber
hukum yang mutlak. Sebagian muslimin yang lain memiliki pandangan dan keyakinan
berbeda. Seiring berjalannya waktu, permasalahan-permasalahan yang ditemui umat
islam pun kian berkembang. Ketika permasalahan-permasalahan tersebut tidak
dapat lagi diselesaikan hanya melalui nash Al-Qur’an dan Hadist secara eksplisit, timbul istilah ijtihad.
A.
A. Waktu Umat Islam Berijtihad
Seorang yang melakukan ijtihad tergantung pada niatnya sendiri
karena pengertian ijtihad sendiri luas. Contoh : seseorang belajar bersungguh-sungguh,
proses belajar bersungguh-sungguh itu termasuk ijtihad dengan di sertai oleh
niat seseorang yang melakukan itu.
Ijtihad sendiri telah dilakukan sejak masa Nabi. Beberapa kali, Nabi
melakukan ijtihad. Namun, Nabi selalu mendapat bimbingan Allah. Bila hasil
ijtihadnya salah, Allah segera meluruskannya. Bila hasil ijtihadnya benar,
Allah menegaskannya kembali. Setelah Nabi wafat, ijtihad terus dikembangkan
oleh para sahabat dan kemudian tabi’in. Demikian seterusnya, ijtihad
terus-menerus dikembangkan. Jika pada masa lalu ijtihad telah dilakukan,
kebutuhan kita sekarang untuk berijtihad tentu saja semakin besar.
B.
Pengertian Ijtihad
Ijtihad ialah mencurahkan segala kemampuan dalam mencapai hukum syara’ dengan cara istinbath (menyelidiki
dan mengambil kesimpulan hukum yang terkandung) pada Alquran
dan sunah.
Orang-orang
yang mampu berijtihad disebut mujtahid. Agar ijtihadnya dapat di pertanggungjawabkan,
seorang mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain :
bersifat adil dan takwa, menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya, ilmu
tafsir, ushul fiqih, dan ulumul hadits. Ilmu-ilmu tersebut diperlukan
untuk meneliti dan memahami makna-makna lafal dan maksud-maksud ungkapan dalam
Alquran dan sunah.
Ijtihad
berasal dari kata ijtahada yang artinya berusaha bersungguh-sungguh
atau mengerahkan segala kemampuan. Ijtihad secara istilah di
definisikan para Ushul Fikih sebagai usaha mujtahid (orang yang berijtihad)
dengan segenap kesungguhan dan kesanggupan untuk mendapatkan ketentuan
hukum sesuai masalah dengan menggunakan metodologi yang benar, dari kedua
sumber hukum Al-Qur’an dan Assunnah. Ijtihad bukanlah dilakukan oleh
sembarang orang. Orang yang memiliki otoritas untuk melakukan ijtihad
disebut mujtahid. Para mujtahid harus melakukan ijtihadnya dengan penuh
kesungguhan dan dalam bidang yang sangat dikuasainya disertai metodologi yang
benar. Sumber hukumnya yang pertama adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang berjumlah
lebih dari enam ribu ayat, baik sebagai kesatuan yang utuh-bulat, satu
kesatuan surat persurat maupun secara parsial ayat perayat, selanjutnya yang ke
dua adalah hadist-hadist Nabi yang juga berjumlah ribuan dan melalui seleksi
yang ketat tentang ke shahisannya, dan yang ketiga adalah ijma para sahabat
Nabi, para Imammutjahid mutlak (yaitu Imam Jafar, Imam Hanafi, Imam
Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali) merumuskannya dengan
langkah-langkah gambling, tetapi ketat. Metode yang dimaksud
terutama qiyas (Empat Mazhab), istihsan (Imam Hanafi), mashalih mursalah (Imam
Maliki), danistidlal (Imam Syafi’i).
Dalam
Islam Syi’ah, ijtihad tidak menggunakan metode-metode semacam qiyas dan
mashalih mursalah tersebut. Ijtihad adalah penyimpulan hukum dari
Al-Qu’an dan Sunah melalui prinsip-prinsip umum syara’atau penyimpulan
suatu hukum pada kasus baru dengan bersandar pada prinsip-prinsip umum
yang sudah jelas dan terang benderang dalam Al-Qur’an dan Assunnah yang
dijadikan sandaran dalam berijtihad adalah hadist tentang Muadz bin Jabal
tatkala di utus oleh Nabi saw. Untuk menjadi hakim di negeri Yaman.
Rasulullah saw. Bertanya “Bagaimana engkau akan memutus
perkara apabila dihadapkan kepadamu suatu pengaduan?”. Ia menjawab
“Saya akan memutus dengan hukum yang tercantum di dalam Al-Qur’an.
Beliau bertanya “Apabila tidak di dalam Al-Qur’an?”. Ia menjawab “Dengan
Assunnah Rasulullah saw”. Beliau bertanya lagi “Apabila tidak ada di dalam
Assunnah Rasulullah?”. Ia menjawab “Saya akan berusaha keras menggunakan
fikiranku dan tidak berhenti
berusaha”.
|
C. Metodologi
Ijtihad
Dilihat
dari pelaksanaannya, ijtihad dibagi dua macam, yaitu ijtihad fardhi dan ijtihad
jama’i. Ijtihad fardhi adalah ijtihad yang belum atau tidak memperoleh
persetujuan dari mujtahid lainnya. Sedangkan ijtihad jama’i adalah ijtihad yang
telah memperoleh persetujuan dari mujtahid lainnya.
Metode yang
umumnya digunakan dalam berijtihad yaitu :
1. Ijma'
: Kebulatan pendapat atau kesepakatan semua ahli ijtihad ummat setelah wafatnya
nabi pada suatu masa tentang suatu hukum. Seperti mendirikan Negara bagi
masyarakat Islam dan mengangkat pemimpin bagi umat, pembukuan Al Quran dan sebagainya.
Ijma terdiri atas ijma qauli (ucapan), dan ijma sukuti (diam). Ijma qauli yaitu
: para ulama mujtahidin menetapkan pendapatnya baik dengan ucapan maupun
dengan tulisan yang menerangkan persetujuan atas pendapat mujtahid lain di
masanya. Ijma sukuti yaitu : ketika para ulama mujtahidin berdiam diri tidak
mengeluarkan pendapatnya atas hasil ijtihad para ulama lain, diamnya itu bukan
karena takut atau malu.
2. Qiyas
: Menetapkan suatu perbutan yang belum ada ketentuan hukumnya, berdasarkan
suatu hukum yang sudah ditentukan oleh nash, didasarkan adanya persamaan
diantara keduanya. Contoh : zakat padi. Nash yang sudah ada hanya menyebutkan
gandum, bukannya padi. Karena ada kesamaan ‘ilat hukum (sebab dan tujuan), padi
dan gandum sama-sama makanan pokok, maka para ulama sepakat menetapkan wajibnya
zakat atas padi.
3.
Istihsan : Meninggalkan
Qiyas Jalli (qias nyata) untuk menjalankan Qiyas Khafi (qiyas samat-samar),
atau meninggalkan hukum Kulli (hukum umum) untuk menjalankan hukum Istisna’i
(pengecualian), disebabkan ada dalil logika yang membenarkan. Contoh : Praktek
salam atas dasar kebutuhan dan kepercayaan.
4.
Mashalih
Al-Mursalah : Suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’ baik yang
memerintahkan maupun melarang. Contoh : Mendirikan penjara karena fungsinya
sangat baik bagi keamanan dan ketertiban masyarakat.
5.
‘Urf : Kebiasaan
masyarakat baik berupa perkataan atau perbuatan yang baik, yang karenanya dapat
dibenarkan oleh syara’. Contoh : Jual beli di supermarket tanpa adanya ijab
qabul secara lisan dengan lafal yang jelas.
6.
Istishad : metode yang dilakukan dengan menetapkan hukum yang sudah ada
sebelumnya sampai ada dalil yang merubahnya. Contohnya adalah setiap makanan
boleh dikonsumsi hingga ada dalil yang mengharamkannya.
7.
Sadzzui dzariah :
sesuatu yang secara lahiriah boleh, tetapi bisa mengarah ke kemaksiatan.
Contohnya bermain kuis yang mengarah ke perjudian.
8.
Qaul al-shahabi : pendapat sahabat yang berkaitan dengan perkara yang
dirumuskan setelah Rasulullah SAW wafat. Contohnya adalah pendapat Ibnu Abbas
yang menyatakan bahwa kesaksian anak kecil tidak diterima.
9.
Syar’u man qablana merupakan hukum Allah SWT yang disyariatkan untuk
umat terdahulu melalui nabi-nabi sebelum Rasulullah. Contohnya adalah kewajiban
untuk berpuasa.
Komentar
Posting Komentar