HUMANISME ISLAM DALAM PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID
SEPERTI INI TERNYATA HUMANISME ISLAM DALAM PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID
Akar kesejarahan humanisme dapat dilacak melalui fase perkembangan gerakan sejak kemunculannya. Istilah humanisme sendiri mulai dipopulerkan oleh para pemikir abad ke-14 M menjelang berakhirnya jaman Pertengahan hingga masa Renaisans. Pada masa peralihan tersebut pemikiran manusia mengalami suatu lompatan besar serta perubahan paradigmatik yang sangat mendasar dari perbincangan makrokosmos (tentang alam semesta) ke diskursus mikrokosmos (tentang manusia). Pada abad ke-14 ini, seni serta sastra Yunani-Romawi kuno ditemukan kembali dan dijunjung tinggi dimana karya-karya Plato dan Aristoteles sangat dihargai. Sedangkan humanisme merupakan gerakan yang lahir dari awal Renaisans, yang merupakan bentuk pengakuan akan martabat dan nilai manusia secara individual serta usaha untuk memaparkan kemampuan-kemampuannya. Pada perkembangannya, diskursus tentang humanisme kemudian tidak begitu populer dikalangan Islam. Hal ini dikarenakan pandangan tersebut merupakan hasil pemikiran dari produk filsafat, sementara sebagian umat Islam merasa alergi dengan istilah filsafat. Terlebih lagi humanisme mengindikasikan pengertian tentang adanya otoritas yang dimiliki oleh manusia untuk menentukan nasibnya sendiri secara bebas tanpa adanya intervensi dari kekuatan di luar dirinya, sementara Islam secara literal bermakna sikap tunduk atau patuh terhadap otoritas yang berada di luar diri manusia, yaitu Tuhan yang dianggap sebagai penentu nasib manusia.
Selain itu, Islam sebagaimana yang dipahami oleh sebagian Islamolog Barat (Orientalisme) disamakan dengan fanatisme, kedzaliman, terorisme, monarkhi dan sikap keprimitifannya. Islam dalam pandangan mereka adalah agama yang tidak menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu, Islam dipandang sebagai agama yang tidak humanis. Pandangan tersebut muncul akibat dari ketidak mengertian orang-orang non-Islam tentang Islam dan pada sisi yang lain orang Islam gagal mengenalkan identitas mereka sendiri. Islam merupakan humanisme transendental yang diciptakan masyarakat khusus dan melahirkan suatu tindakan moral yang sukar untuk ditempatkan dalam rangka yang dibentuk oleh filsafat Barat. Humanisme tidak mengesampingkan monoteisme mutlak yang sebenarnya dan memungkinkan untuk memperkembangkan kebajikan. Islam dipahami oleh orang-orang Barat hanya melalui unsur-unsur eksotik semata. Padahal Islam terdiri dari pemahaman yang beraneka ragam, di antaranya adanya tradisi kritis yang terus menyuarakan keberpihakannya pada isu demokrasi, gender, pluralisme dan HAM , meskipun para Islamolog Barat serta media-media tertentu yang lebih tertarik pada wajah sensansionalisme kaum ekstrim. KH. Abdurrahman Wahid adalah seorang tokoh di antara sekian banyak tokoh Islam yang konsisten mengusung gagasan tentang humanisme.
Humanisme KH. Abdurrahman Wahid ini disandarkan pada pemahaman yang kuat terhadap Islam. Humanisme KH. Abdurrahman Wahid adalah humanisme Islam berkaitan dengan ajaran Islam tentang toleransi dan keharmonisan sosial yang menyangkut budaya muslim yang mendorong umat Islam tidak seharusnya takut terhadap suasana plural yang ada di tengah masyarakat modern, sebaliknya harus merespon dengan positif. Perbincangan humanisme KH. Abdurrahman Wahid berkaitan dengan masalah pluralisme dengan menekankan pandangan keterbukaan untuk menemukan kebenaran di manapun juga. Humanisme yang ditekankan KH. Abdurrahman Wahid adalah bentuk pluralisme dalam bertindak dan berpikir, sebab hal ini yang akan melahirkan bentuk toleransi. Sikap toleran yang tidak bergantung pada apapun, tetapi pengakuan atas pluralitas merupakan persoalan hati, persoalan perilaku.8 Humanisme dalam pandangan Islam harus dipahami sebagai suatu konsep dasar kemanusiaan yang tidak berdiri dalam posisi bebas. Hal ini mengandung pengertian bahwa makna penjabaran memanusiakan manusia itu harus selalu terkait secara teologis. Dalam konteks inilah Al-Qur’an memandang manusia sebagai wakil Allah di Bumi, untuk memfungsikan kekhalifah-annya Allah telah melengkapi manusia dengan intelektual dan spiritual.
Manusia memliliki kapasitas kemampuan dan pengetahuan untuk memilih, karena itu kebebasan merupakan pemberian Allah yang paling penting dalam upaya mewujudkan fungsi kekhalifahannya. Dalam pandangan KH. Abdurrahman Wahid, aspek humanisme ini juga harus diturunkan dalam berbagai term penting, antara lain jaminan kebebasan beragama, jaminan adanya perlindungan hak-hak dasar kemanusiaan, budaya yang demokratis, dan perlindungan terhadap kalangan minoritas. Humanisme KH. Abdurrahman Wahid ini menjadi wacana yang penting, mengingat pemikiran tersebut merupakan bentuk otokritik bagi umat Islam sendiri, karena adanya sikap politisasi dan pendangkalan agama, karena itu, sikap anti kekerasan merupakan nilai dasar yang harus dikembangkan sebagai ujung tombak untuk menjalani kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.
KH. Abdurrahman Wahid mengembangkan pandangan anti eksklusivisme agama. Hal ini berdasarkan fenomena berbagai peristiwa kerusuhan, kekerasan dan radikalisasi yang berkedok agama di beberapa tempat adalah akibat adanya eksklusivisme agama. Pada berbagai kasus kekerasan ini, agama telah menjadi sumber ketidakadilan dan ketidakharmonisan antar sesama umat manusia. Agama menjadi pemisah antara manusia dengan label "demi agama". Pada kondisi yang seperti ini agama telah menjadi institusi yang bersikap eksklusif, hanya berkutat pada hal yang bersifat retorik, ideologis, dan tidak mampu berbuat banyak pada kehidupan yang sesungguhnya. Agama telah kehilangan fungsi sosialnya (social function) sebagai penegak kesejahteraan, keharmonisan kehidupan, keadilan, dan kesetaraan. Dari berbagai macam pandangan Abdurrahman Wahid tentang berbagai hal, aspek humanisme menjadi salah satu wacana yang concern bagi pemikiran Abdurrahman Wahid. Hal ini berkaitan dengan pendidikan, lingkungan, dan kepribadian yang dimiliki oleh Abdurrahman Wahid. Pandangan humanisme Abdurrahman Wahid disandarkan pada Islam sebagai sumber pemikiran, sehingga dengan Islam sebagai pandangan dunia maupun pikiran-pikiran dasar akan meletakkan kerangka dasar bagi pandangan dunia kemanusiaan yang fundamental.
Dalam hal ini Abddurrahman Wahid meletakkan hubungan individu dan masyarakat, baik yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia (HAM) dan menyeimbangkan antara hak-hak individu dengan tanggung jawab sosial. KH. Abdurrahman Wahid menyadari betul bahwa kemajemukan masyarakat Indonesia sangat beragam, maka KH. Abdurrahman Wahid mencoba mengarahkan pada konsep pendidikan yang berprinsip dinamis dan humanis. Kemajemukan itu sendiri adalah sesuatu yang bersifat alami dan kodrati bagi bangsa indonesia, artinya bangsa ini tidak bisa mengalahkan dirinya dan keadaan plural tersebut, karenanya bangsa Indonesia bagaimanapun juga tidak bisa menghilangkan kemajemukan itu sendiri. Oleh karena itu, sikap yang harus diambil oleh bangsa Indonesia bukan bagaimana menghilangkan kemajemukan, tetapi bagaimana supaya bisa hidup berdampingan secara damai dan aman penuh toleransi, saling menghargai dan saling memahami antara anak bangsa yang berbeda suku, budaya dan agama. Salah satu di antara upaya perekat itu adalah lewat pendidikan agama.
Humanisme menjadi hal yang perlu di integrasikan ke dalam proses pendidikan seseorang. Karena memanusiakan manusia harus ditanam pada diri manusia sejak dini agar menjadi kebiasaan yang baik dan benar. Ketika humanisme telah menyatu dalam tingkah seseorang dalam kehidupan seharihari, maka sudah tentu segala perilakunya tidak akan menimbulkan problematika di tengah masyarakat. Sehingga pendidikan humanisme menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, dalam agama Islam mengajarkan kepada umat manusia mengenai berbagai aspek kehidupan, baik ukhrawi maupun duniawi, salah satu ajaran tersebut adalah mewajibkan kepada umat Islam untuk melaksanakan pendidikan. Karena menurut ajaran Islam, pendidikan adalah juga merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus dipenuhi, demi untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Realitas pentingnya pendidikan sebagaimana yang digambarkan di atas telah menumbuhkan kesadaran baru para pemikir dan peneliti untuk menempatkan kembali pendidikan sebagai proses penyadaran kritis bagi harkat kemanusiaan dan memanusiakan manusia. Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, terkandung suatu maksud bahwa manusia bagaimanapun juga tidak lepas dari individu yang lainnya. Secara kodrati manusia akan selalu hidup bersama. Hidup bersama antar manusia akan berlangsung dalam berbagai bentuk komunikasi dan situasi. Pemikiran humanisme KH. Abdurrahman Wahid menurut penulis sangat relevan dengan konsep pendidikan Islam dan mempunyai nilai kontribusi pemikiran yang besar dalam memahami Islam dalam kaitannya dengan masalah-masalah peradaban dan kemanusiaan. Pemikiran humanisme yang dilontarkan oleh KH. Abdurrahman Wahid, Islam akan mampu memberikan jawaban masalah-masalah yang dihadapi manusia sekarang ini terutama yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, antara lain kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Karena itu, KH. Abdurrahman Wahid ingin dalam era pascaindustri nanti umat Islam juga terlibat dalam membangun budaya dan peradaban bangsa ini khususnya dan umat manusia umumnya. Berdasarkan Hal di atas, menjadi suatu alasan yang mendasar apabila penulis membahas permasalahan tersebut dalam sebuah penelitian yang berjudul “Konsep Pemikiran Humanisme KH. Abdurrahman Wahid dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam”. Penulis mengangkat topik di atas karena relevan dengan perkembangan pemikiran dan konsep pendidikan di masa sekarang, terutama pada institusi pendidikan Islam di Indonesia yang gencar mencanangkan konsep integrase ilmu-agama. Konsep pemikiran Humanisme KH. Abdurrahman Wahid yang penulis akan teliti mencakup segala aspek kehidupan terutama dalam kaitannya baik hubungan individu maupun dalam sosial-kemasyarakatan. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan manusia pada dasarnya adalah bersama dan saling membutuhkan antar sesama makhluk Tuhan. Karena memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Dan sebaliknya, menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya. Inilah makna relevansi dalam pendidikan Islam sesungguhnya.
Terimakasih kak
BalasHapusBerkat ini saya jadi paham😉
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus