SEPERTI INI TASAWUF DALAM AGAMA ISLAM

                       TASAWUF DALAM AGAMA ISLAM 



MAKNA TASAWUF

RUANG LINGKUP DAN TUJUANNYA


Istilah tasawuf berasal dari bahasa Arab dari kata ”tashowwafa – yatashowwafu - tashowwuf” mengandung makna (menjadi) berbulu yang banyak, yakni menjadi seorang sufi atau menyerupainya dengan ciri khas pakaiannya terbuat dari bulu domba/wol (suf), walaupun pada prakteknya tidak semua ahli sufi pakaiannya menggunakan wol. Menurut sebagian pendapat menyatakan bahwa para sufi diberi nama sufi karena kesucian (shafa) hati mereka dan kebersihan tindakan mereka. Di sisi yang lain menyebutkan bahwa seseorang disebut sufi karena mereka berada dibaris terdepan (shaff) di hadapan Allah, melalui pengangkatan keinginan mereka kepada-Nya. Bahkan ada juga yang mengambil dari istilah ash-hab al- Shuffah, yaitu para shahabat Nabi SAW yang tinggal di kamar/serambi- serambi masjid (mereka meninggalkan dunia dan rumah mereka untuk berkonsentrasi beribadah dan dekat dengan Rasulullah SAW).

Pada intinya tasawuf merupakan suatu usaha dan upaya dalam rangka mensucikan diri (tazkiyyatunnafs) dengan cara menjauhkan dari pengaruh kehidupan dunia yang meyebabkan lalai dari Allah SWT untuk kemudian memusatkan perhatiannya hanya ditujukan kepada Allah SWT. Menurut Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi bahwa tasawuf adalah ilmu yang menerangkan tentang keadaan-keadaan jiwa (nafs) yang dengannya diketahui hal-ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari (sifat-sifat) yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, jalan menuju Allah, dan meninggalkan (larangan- larangan) Allah menuju (perintah-perintah) Allah SWT.

Beberapa penulis mengira bahwa ada hubungan antara tasawuf dan zuhud. Oleh karenanya, setiap orang yang diketahui hidup zuhud dan mengonsentrasikan diri pada Allah dinisbatkan kepada tasawuf, seperti Fudhayl bin ’Iyadh, Abdullah bin Mubarak, Ibrahim bin Adham, dan ahli- ahli zuhud lainnya seperti mereka.

Ilmu tasawuf yang pada dasarnya bila dipelajari secara esensial mengandung empat unsur, yaitu :

1.     Metafisika, yaitu hal-hal yang di luar alam dunia atau bisa juga dikatakan sebagai ilmu ghoib. Di dalam Ilmu Tasawuf banyak dibicarakan tentang masalah-masalah keimanan tentang unsur-unsur akhirat, dan cinta seorang sufi terhadap Tuhannya.

2.      Etika, yaitu ilmu yang menyelidiki tentang baik dan buruk dengan melihat pada amaliah manusia. Dalam Ilmu Tasawuf banyak sekali unsur-unsur  etika,  dan  ajaran-ajaran  akhlak  (hablumminallah  dan hablumminannas).

3.    Psikologi, yaitu masalah yang berhubungan dengan jiwa. Psikologi dalam pandangan tasawuf sangat berbeda dengan psikologi modern. Psikologi modern ditujukan untuk menyelidiki manusia bagi orang lain, yakni jiwa orang lain yang diselidikinya. Sedangkan psikologi dalam tasawuf memfokuskan penyelidikan terhadap diri sendiri, yakni diarahkan terhadap penyadaran diri sendiri dan menyadari kelemahan dan kekurangan dirinya untuk kemudian memperbaiki menuju kesempurnaan nilai pribadi yang mulya.

4.     Estetika, yaitu ilmu keindahan yang menimbulkan seni. Untuk meresapkan seni dalam diri, haruslah ada keindahan dalam diri sendiri. Sedangkan puncak keindahan itu adalah cinta. Jalan yang ditempuh untuk mencapai keindahan menurut ajaran tasawuf adalah tafakur, merenung hikmah-hikmah ciptaan Allah. Dengan begitu akan tersentuh kebesaran Allah dengan banyak memuji dan berdzikir kehadirat-Nya. Oleh karena itu, dengan senantiasa bertafakur dan merenungkan segala ciptaan Allah, maka akan membuahkan pengenalan   terhadap   Allah   (ma’rifat   billah)    yang   merupakan keni’matan bagi ahli sufi. Hal ini bersumber pada mahabbah, rindu, ridlo melalui tafakkur, dan amal-amal shalih.


Esensi tasawuf bermuara pada hidup zuhud (tidak mementingkan kemewahan duniawi). Tujuan hal ini dalam rangka dapat berhubungan langsung dengan Tuhan; dengan perasaan benar-benar berada di hadirat Tuhan. Para sufi menganggap ibadah yang diselenggarakan dengan cara formal (mahdhoh) belum merasa cukup karena belum memenuhi kebutuhan spiritual kaum sufi. Dalam pandangan Sayyid Nur bin Sayyid Ali bahwasanya sufisme diadakan dengan tujuan sebagai berikut :

1.      Berupaya menyelamatkan diri dari akidah-akidah syirik dan batil.

2.      Melepaskan diri (takhalli) dari penyakit-penyakit kalbu.

3.      Mengisi diri (tahalli) dengan akhlak Islam yang mulya.

4.      Menggapai derajat ihsan dalam ibadah (tajalli).

5.     Menstabilkan  akidah  persahabatan  ketuhanan  (shuhbah  Ilahiyyah), dengan maksud Allah SWT melihat hamba-hamba-Nya dengan meliputi mereka dari segala arah ilmu, kekuasaan, pendengaran, dan penglihatan-Nya.

6.   Menggapai kekuatan iman yang dahulu pernah dimiliki para sahabat Rasulullah SAW, menyebarkan ilmu-ilmu syari’at dan meniupkan roh kehidupan kepadanya.


Manfaat Ilmu Tasawuf Dalam Kehidupan

Menurut Hossein Nasr sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata bahwa paham sufisme mulai mendapat tempat di kalangan masyarakat (termasuk masyarakat Barat), karena mereka merasakan kekeringan batin. Mereka mulai mencari-cari di mana sufisme yang dapat menjawab sejumlah masalah tersebut.

Perlunya tasawuf dimasyarakatkan dalam pandangan Komaruddin Hidayat2 terdapat tiga tujuan. Pertama, turut serta terlibat dalam berbagai peran dalam menyelamatkan kemanusiaan dari kondisi kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai spiritual. Kedua, mengenalkan literatur atau pemahaman tentang aspek esoteris (kebatinan) Islam, baik terhadap masyarakat Islam yang mulai melupakannya maupun di kalangan masyarakat non-Islam. Ketiga, untuk memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek esoteris Islam, yakni sufisme adalah jantung ajaran Islam, sehingga bila wilayah ini kering dan tidak berdenyut, maka keringlah aspek-aspek lain dalam ajaran Islam.

Dalam kaitan itu Nasr menegaskan arti penting tarikat atau jalan rohani yang merupakan dimensi kedalaman dan esoteric dalam Islam, sebagaimana syari’at berakar pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Ia menjadi jiwa risalah Islam, seperti hati yang ada pada tubuh, tersembunyi jauh dari pandangan luar. Betapapun ia tetap merupakan sumber kehidupan yang paling dalam, yang mengatur seluruh organisme keagamaan dalam Islam.

Menjadi suatu kenyataan nilai-nilai spiritualitas mendapat tempat yang semakin lirik dalam masyarakat modern dewasa ini. Fenomena ini   menunjukkan krisis besar yang melanda umat manusia tidak akan dapat diatasi dengan keunggulan iptek sendiri dan kebesaran ideologi yang dianut oleh negara-negara terkemuka. Ideologi sosialisme-komunisme telah gagal. Ideologi kapitalisme-liberalisme juga dianggap goyah dan rapuh. Dalam hal ini kemudian agama dilihat sebagai harapan dan benteng terakhir untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran yang mengerikan. Di sinilah letaknya arti penting manfaat Ilmu Tasawuf dalam kehidupan.

Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Tasawuf

Istilah tasawuf dimasa Nabi SAW tidak ada, demikian pula dimasa para sahabat Nabi SAW dan tabi’in belum ada istilah itu. Dalam masalah ini belum ada seorang pun pengkaji masalah tasawuf yang sampai dalam batasan ilmiah untuk mengetahui tokoh sufi pertama dalam Islam dan siapa yang meletakkan batu pertama bagi pemikiran tasawuf ini.

Tasawuf merupakan sebuah konsep yang tumbuh sebelum Nabi Muhammad SAW lahir, baik dalam segi wacana, perilaku, maupun akidah. Tasawuf terjadi pada setiap umat dan agama-agama, khususnya Brahmana Hinduisme, filsafat Iluminasi Yunani, Majusi Persia, dan Nashrani Awal. Lalu pemikiran itu menyelinap ke dalam pemikiran Islam melalui zindik, Majusi. Kemudian menemukan jalannya dalam realitas umat Islam dan berkembang hingga mencapai tujuan akhirnya, disusun kitab-kitab referensinya, dan telah diletakkan dasar-dasar dan kaidah-kaidahnya pada abad ke-empat dan kelima Hijriyah.

Tasawuf sebagai sebuah ilmu pengetahuan baru muncul setelah masa sahabat dan tabi’in. Nabi SAW dan para sahabat pada hakikatnya sudah sufi. Mereka mempraktekkan selalu terhadap hal-hal yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak meremehkannya.

Pada masa Rasulullah SAW Islam tidak mengenal aliran tasawuf, demikian juga pada masa sahabat dan tabi’in. Kemudian datang setelah masa tabi’in suatu kaum yang mengaku zuhud yang berpakaian shuf (pakaian dari buku domba), maka karena pakaian inilah mereka mendapat julukan sebagai nama bagi mereka yaitu sufi dengan nama tarekatnya tasawuf. Ilmu Tasawuf datang belakangan sebagaimana ilmu yang lain.

Di masa awalnya, embrio tasawuf ada dalam bentuk perilaku tertentu. Ketika kekuasaan Islam makin meluas dan terjadi perubahan sejarah yang fenomenal pasca Nabi dan sahabat, ketika itu pula kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan, mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani. Budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan tasawuf sekitar abad ke-2 Hijriyah. Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup. Menurut pengarang Kasyf Al- Dzunnun,  orang  yang  pertama  kali  diberi  julukan  Al-Sufi  adalah  Abu Hasyim Al-Sufi (Wafat. 150 H).

Dalam sejarahnya, bahwa dakwah Nabi di Makkah tidaklah semulus yang diharapkan. Kemudian Nabi melakukan tahannus di guwa Hiro sebelum turunnya wahyu pertama. Kegiatan ini dalam rangka menenangkan jiwa, menyucikan diri. Dalam proses ini Rasulullah melakukan riyadhah dengan bekal makanan secukupnya, pakaian sederhana yang jauh dari kemewahan dunia. Dengan demikian setelah menjalani proses-proses tersebut jiwa Rasulullah SAW telah mencapai tingkatan spiritual tertentu sehingga benar-benar siap menerima wahyu melalui Malaikat Jibril. Dengan memperhatikan praktek-praktek Nabi SAW di atas menunjukkan Islam merupakan agama yang memiliki akar tradisi spiritual yang tinggi.

Pada prinsipnya perkembangan tasawuf itu ada tiga tahapan, pertama periode pembentukan dengan menonjolkan gerakan-gerakan zuhud sebagai fenomena sosial. Periode ini berlangsung selama abad pertama dan kedua hijriyah yang dipelopori oleh para sahabat, tabi’in, dan tabi’i tabi’in. Pada masa ini fenomena yang terjadi adalah semangat untuk beribadah dengan prinsip-prinsip yang telah diajarkan oleh Nabi SAW, untuk kemudian mereka mencoba menjalani hidup zuhud. Tokoh-tokoh sufi pada periode ini adalah Hasan Bashri (110 H.) dengan konsep khouf dan Rabi’ah Al-Adawiyah (185 H.) dengan konsep cinta (Al-Hubb).

Kedua, memasuki abad ketiga dan ke-empat hijriyah tasawuf kembali menjalani babak baru. Pada abad ini tema-tema yang diangkat para sufi lebih mendalam. Berawal dari perbincangan seputar akhlak dan budi pekerti, mereka mulai ramai membahas tentang hakikat Tuhan, esensi manusia serta hubungan antar keduanya. Dalam hal ini kemudian muncul tema-tema seperti ma’rifat, fana’, dzauk, dan lain sebagainya. Para tokoh pada masa ini diantaranya Imam Al-Qusyairi, Suhrawardi Al-Baghdadi, Al-Hallaj, dan Imam Ghazali.

Ketiga, abad ke-enam dan ketujuh tasawuf kembali menemukan suatu bentuk pengalaman baru. Persentuhan tasawuf dengan filsafat berhasil mencetak tasawuf menjadi lebih filosofis yang kemudian dikenal dengan istilah teosofi. Dari sinilah kemudian muncul dua varian tasawuf, Sunni dengan coraknya amali dan Falsafi dengan corak iluminatifnya. Adapun tokoh-tokoh teosofi abad ini adalah Surahwardi Al-Maqtul (549 H.), Ibnu ’Arabi (638 H.), dan Ibnu Faridh(632 H.)

Jika dilacak secara cermat maka praktek-praktek zuhud yang berkembang di dua abad pertama tersebut adalah hal yang lumrah dan dapat ditemukan pembenarnya. Dalam pandanga Islam, zuhud bukanlah upaya untuk memusuhi dunia materi dan harta. Zuhud dalam Islam tidak seperti istilah kependetaan dalam Yahudi dan Nasrani. Zuhud bukanlah ’uzlah yang dalam artian menjauh dari hiruk pikuk bumi dan berada dalam kesendirian serta tidak menghiraukan kehidupan sosial.


Hubungan Tasawuf dengan Fiqih

Ilmu Fiqih berkaitan dengan amalan syari’at, sedangkan tasawuf berkaitan dengan batiniyah. Dengan syari’at kita dapat ta’at menuruti peraturan-peraturan Tuhan (agama). Dengan tasawuf kita dapat merasakan dalam batin kita dan mengenal Tuhan, untuk siapa dipersembahkan amal ibadah kita, dan sebagai pengawas jiwa untuk khusyu’ kepada-Nya. Tasawuf selain sebagai naluri manusia, maka ia juga merupakan olah batin serta olah rasa (dzauq) untuk semata-mata mencapai keridloan Tuhan.

Dikarenakan kaum fiqih semata-mata berfikir, dan kaum sufi mengutamakan rasa terkadang bersebrangan. Maka ada kemungkinan terjadi pertentangan, karena berbeda latar belakang pemikirannya. Padahal para pemimpin tasawuf yang besar dan dalam pemahamannya memandang bahwasanya gabungan antara ilmu batin dengan ibadat yang lahir itu adalah puncak kebahagiaan dari tasawuf. Tasawuf adalah pakaian hati di dalam melaksanakan amal ibadat, rukun, dan syari’at. Dan pada puncaknya seorang ahli tasawuf yang sejati menjunjung tinggi syari’at dan menurutinya dengan tidak banyak tanya; demikian juga para ulama fiqih berusaha untuk mengimplementasikannya sesuai dengan syari’at.

Di samping kaum fiqih menyelidiki ayat dan hadits untuk mengetahui suatu hukum, mereka pun menyelidiki ayat dan hadits untuk mengetahui rahasia kebatinan yang terkandung di dalamnya. Berkat yakinnya dan kebersihan jiwanya, mendaratlah dia dalam lapangannya, sebagaimana yang didapati oleh ahli tasawuf dalam lain lapangannya pula. Kaum fiqih menyelidiki sanad riwayat tentang sembahyang

sunnat misalnya. Dia menyatakan pendapat bahwasanya sembahyang sunnat yang ma’tsur (yang berasal dari Nabi SAW) adalah sekian raka’at. Ada sholat sunnat Qabliyah dan ada Ba’diyah, ada sembahyang qiyamullail, dan ada sholat sunnat dhuha, dan yang lainnya dengan raka’atnya tertentu. Tetapi kaum sufi ada yang sholat sunnatnya yang mencapai 100 raka’at sehari semalam. Junaid al-Baghdadi mewirid-kan sholat sunnat 400 raka’at sehari semalam. Dalam hal ini masing-masing pihak harus ada tasamuh (saling menghargai dan menghormati).

Hubungan Tasawuf dengan Psikologi Agama

Psikologi agama mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya dalam penela’ahan kajian empiris. Dalam hubungan ini, ternyata agama terbukti mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi jiwa. Oleh karenanya metode yang digunakan dalam penelitian Ilmu Jiwa agama tidak berbeda dengan metode ilmiyah yang dipakai oleh cabang-cabang Ilmu Jiwa agama.

Ketika seseorang dalam prilaku kehidupan keberagamaannya baik dan sesuai dengan ketentuan nilai-nilai Ilahiyah, maka ada kemungkinan dalam tingkat spiritual keagamaannya tinggi. Inilah hasil dari implementasi dan aplikasi ke-tasawuf-annya.

Dalam hal ini kejiwaan seseorang berpengaruh besar dalam kehidupan spiritual dan tingkah laku dalam pergaulannya. Berarti antara ke-sufi-an dan psikologi agama sangat berkaitan. Dan bukan hal yang tidak mungkin para sufi adalah pakar ilmu jiwa sekaligus dokter jiwa. Hubungan ini tentunya dalam implementasi ilmu jiwa yang dimaksud adalah sentuhan-sentuhan rohani ke-Islam-an.

Para sufi menekankan unsur kejiwaan dalam konsepsi tentang manusia yang mengarah dalam inti kehidupannya pada unsur spiritual atau kejiwaannya. Dalam pandangan sufi juga disebutkan, bahwanya akhlak dan sifat seseorang bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. Jika yang berkuasa dalam tubuhnya adalah nafsu-nafsu hewani atau syahwat, maka yang akan tampil dalam prilakunya adalah prilaku hewani atau sifat- sifat yang jelek dari pengaruh syahwatnya. Sebaliknya, jika yang berkuasa adalah nafsu insani, maka yang akan tampil dalam prilakunya adalah prilaku insani.

Memang harus diakui, jiwa manusia terkadang sakit. Dalam hal ini, seseorang tidak akan sehat jiwanya secara sempurna kalau tidak melakukan perjalanan menuju Allah dengan benar. Jiwa manusia juga membutuhkan prilaku (moral) yang luhur sebab kebahagiaan tidak akan dapat diraih tanpa akhlak yang luhur, juga tidak dapat memilikinya tanpa melakukan perjalanan menuju Allah. Dalam kaitan ini berarti sangat diperlukan latihan-latihan kejiwaan dalam bentuk riyadhoh dan mujahadah menuju spiritual yang maksimal.

Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa seseorang yang dekat dengan Tuhannya maka dia akan mendapatkan ketenangan dan ketentraman. Sehingga akan berpengaruh pada sikap dan tindak-tanduknya dalam kehidupan. Prilaku kehidupan keagamaan seseorang itu dipengaruhi dari jiwanya yang mengarah pada kebaikan atau keburukan. Dengan demikian sangat jelaslah keterkaitan tasawuf dengan psikologi agama (Ilmu Jiwa Agama).

Dasar-Dasar Ilmu Tasawuf  Dalam Al-Qur’an

Berkaitan dengan masalah itu, Al-Qur’an menjadi sumber dan dasar dari tasawuf serta amalannya, paling tidak tampak dari empat segi. Pertama,  Al-Qur’an  penuh  dengan  gambaran  kehidupan  tasawuf  dan merangsang untuk hidup secara sufi. Kedua, Al-Qur’an merupakan sumber dari konsep-konsep yang berkembang dalam dunia tasawuf. Ketiga,        Al- Qur’an banyak sekali berbicara dengan hati dan perasaan. Di sini Al-Qur’an banyak membentuk, mempengaruhi, atau mengubah manusia dengan bahasa hati, bahasa sufi, agar menjadi manusia yang berkepribadian sufi yang menyatu dalam dirinya secara harmonis perasaan dekat, takut, dan cinta pada Tuhan yang tergetar hatinya saat mendengar ayat-ayat Al Qur’an.  Dengan  demikian,  Al-Qur’an menjadi  sumber  yang  sebenarnya dari metode tarekat. Keempat, Al-Qur’an sering  menggambarkan Tuhan dengan gambaran yang hanya dapat didekati secara tepat melalui tasawuf. Bila gambaran itu didekati atau diterangkan dengan ilmu kalam atau filsafat akan tampak sebagai pemerkosa bahasa dan artinya menjadi dangkal.

Pada hakikatnya, seorang ahli tasawuf Islami itu akan tunduk pada agamanya, melaksanakan ibadat-ibadat yang diperintahkan, iman itu diyakininya dalam hati, menghadap selalu pada Allah memikirkan selalu sifat dan tanda-tanda kekuasaan Allah. Imam Sahal Tusturi seorang ahli tasawuf telah mengemukakan tentang prinsip tasawuf ada enam macam:

1.                 Berpedoman kepada kitab Allah (Al-Qur’an )

2.                 Mengikuti Sunnah  Rasulullah (Hadits).

3.                 Makan makanan yang halal.

4.                 Tidak menyakiti manusia (termasuk binatang).

5.                 Menjauhkan diri dari dosa.

6.                 Melaksanakan ketetapan hukum (yaitu segala peraturan agama Islam).

Ø  Pandangan Imam Sya’rani tentang tasawuf :

1.                 Jalan kepada Allah itu harus dimengerti dahulu tentang ilmu syari’at.

2.                 Diketahuinya ilmu tersebut baik yang khusus maupun yang umum.

3.                 Memiliki keahlian dalam bidang Bahasa Arab.

4.                 Setiap ahli tasawuf haruslah sebagai seorang ahli fiqh.

5.                 Jika ada seorang wali yang menyalahi pandangan Rasulullah maka dia tidak boleh diikuti.

Tasawuf telah mengajak kepada akhlak yang utama yang dianjurkan dalam Islam. Akhlak yang mulia itu dijadikan sebagai landasannya, menyucikan jiwanya dengan cara berhias diri dengan keutamaan akhlaknya yaitu berupa ‘tawadhu’ (yaitu rendah diri atau rendah hati), meninggalkan diri dari akhlak yang tercela, memberikan kemudahan dan lemah lembut, kemuliaan dirinya diikuti dengan sifat qana’ah (merelakan diri), menjauhkan diri dari perkara yang berat, perdebatan maupun kemarahan. Lambangnya adalah Al-Qur’an.

Amaliah Tasawuf yang dipandang paling penting adalah dzikir.  Al- Qur’an juga menempatkan dzikir dan orang-orang yang suka dzikir setiap saat dan setiap keadaan dalam kedudukan istimewa yang mempunyai pengetahuan dan kesadaran mendalam (Ulil Albab) adalah orag yang senantiasa dzikir kepada Allah sambil berdiri, duduk dan sambil berbaringdisamping merenungi penciptaan langit dan bumi.

Dzikir merupakan konsep sentral dalam ibadah menurut tasawuf, juga  adalah  konsep  sentral  dalam  ibadah  menurut  Al-Qur’an.  Itulah sebabnya disamping menempatkan dzikir dalam tempat istimewa dan sistem ibadah Islam, Allah memerintahkan manusia untuk dzikir sebanyak-banyaknya. Firman-Nya :

 Salah satu jenis orang yang sangat dicintai Tuhan adalah orang yang  bersabar. Hanya  pahala  sabar  dinyatakan  Al-Qur’an  tidak  dapat dihitung. Bahkan  Al-Qur’a>n  menyatakan  adanya  kebersamaan  Allah dengan orang-orang bersabar. Dan itulah sebabnya sabar adalah sejajar dengan kebenaran yang dua-duanya merupakan ajaran yang mesti saling dipesankan sesama orang beriman agar hidup tidak merugi.“…dan berdzkirlah kamu semua kepada Allah sebanyak -banyaknya agar kamu sekalian mendapat kebahagiaan.”

Termasuk konsep Sufi yang urgen adalah masalah ridha dan tawakkal.   Kedua    konsep    ini    juga    berasal    dari    Al-Qur’an    yang dikembangkan oleh para sufi. Dalam tasawuf penekanan penggunaan kata ridha adalah ridha hamba pada Tuhan, sedangkan Al-Qur’an menyebutkan hal itu secara timbal balik, ridha Tuhan pada manusia, dan ridha manusia pada Tuhan.

Menurut Imam Al-Qusyairi bahwa tempat tawakkal adalah hati, sedangkan gerakan lahiriah tidak menanggalkan tawakkal dalam hati manakala si hamba telah yakin bahwa takdir datang dari Allah Swt., hingga jika sesuatu didapati kesulitan maka ia akan meliht takdir di dalamnya, dan jika sesutu dimudahkan kepadanya maka ia melihat kemudahan dari Allah Swt. di dalamnya. Tentang hakekat tawakkal, Ibnu ‘Atha mengungkapkan, “Tawakkal adalah, hendaknya hasrat yang menggebu-gebu terhadap perkara duniawi tidak muncul dalam dirimu, meskipun engkau sangat membutuhkannya,  dan  hendaknya  engkau  senantiasa  bersikap  qona’ah dengan Allah, meskipun engkau tergantung kepada kebutuhan-kebutuhan duniawi itu.

Akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan bermacam-macam perbuatan yang mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Objek kajiannya adalah perbuatan manusia dan norma (aturan) yang dijadikan untuk mengukur perbuatan dari segi baik dan buruk. Pembentukannya secara integral melalui rukun iman dan rukun Islam.

Rukun Iman bertujuan tumbuhnya keyakinan akan ke-esaan Tuhan (unity of God) dan kesatuan kemanusiaan (unity of human beings). Kesatuan kemanusiaan menghasilakn konsep kesetaraan sosial (social equity). Rukun Islam menekankan pada aspek ibadah yang menjadi sarana pembinaan akhlak, karena ibadah memiliki fungsi sosial.

Dalam menghadapi problematika kehidupan, diantara caranya adalah dengan mengembangkan kehidupan yang berakhlak dan bertasawuf. Untuk pengkajiannya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari penelitian dan pengembangan dalam Ilmu Pengetahuan Agama Islam.

Oleh karena itu dalam pengembangannya diperlukan untuk mengembalikan kembali dalam kajian-kajian akhlak tasawuf Islami ke sumber yang pokok yaitu Al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabawi. Kemudian menghilangkan praktek-praktek yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Dengan demikian sudah semestinya kajian-kajian tentang akhlak dan tasawuf perlu diajarkan dalam lembaga-lembaga pendidikan formal, informal, dan non-formal. Untuk itu dalam pendidikan dan pengajarannya disesuaikan dengan tingkat pemahaman dan kemampuannya sesuai dengan jenjang pendidikannya.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

TERNYATA SEPERTI INI PERAN PONDOK PESANTREN DALAM PENYEBARAN AGAMA ISLAM

ISLAM DAN GLOBALISASI